Selain itu, J disebut menerima imbalan sekitar Rp20 juta dari tersangka lain berinisial RS, yang saat itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Rutin Satpol PP. Imbalan diberikan secara bertahap sebagai kompensasi atas tanda tangan persetujuan dokumen fiktif.

“Perbuatan tersangka J jelas menyalahi tugas pokok dan fungsinya sebagai pengurus barang pengguna. Ia tidak pernah melakukan pengecekan barang yang tercantum dalam berita acara, namun tetap menandatangani dokumen resmi tersebut,” ungkap Sabrul Iman dalam keterangan pers, Senin (15/9/2025) sore.

Sebelumnya, beber Sabrul Iman, penyidik telah menemukan adanya permufakatan jahat antara sejumlah pihak, termasuk RS selaku PPK, H selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), S selaku Bendahara Pengeluaran, serta Y selaku penyedia jasa. Mereka diduga bersama-sama merekayasa laporan keuangan dengan membuat nota pencairan fiktif atas belanja barang/jasa yang tidak pernah dilakukan.

Hingga saat ini, tim penyidik telah mengidentifikasi kerugian negara sebesar Rp412.516.414. Nilai tersebut diperkirakan masih akan bertambah seiring dengan pendalaman proses penyidikan dan penghitungan kerugian negara yang lebih detail.

Atas perbuatannya, tersangka J disangkakan dengan beberapa pasal alternatif, yakni Primair: Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Subsidair: Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Atau Pasal 9 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.