Opini Publik oleh Redaksi Suara Bahana

PERAIRAN Laut Sukadamai, Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, masih menjadi saksi bisu dari maraknya praktik tambang ilegal yang terus berlangsung tanpa tersentuh hukum. Fenomena ini bukanlah hal baru, melainkan potret usang dari persoalan yang tak kunjung selesai.

Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan ini pun seolah terbiasa dengan pemandangan ponton-ponton isap ilegal yang bebas beroperasi, layaknya aktivitas ekonomi resmi yang mendapat restu negara.

Namun satu hal yang harus diingat: apa yang ilegal tidak akan pernah berdiri sendiri tanpa kekuatan besar yang menopangnya.

Aktivitas Ponton Isap Produksi (PIP) di wilayah perairan laut Sukadamai Toboali Kabupaten Bangka Selatan. Foto: istimewa.
Aktivitas Ponton Isap Produksi (PIP) di wilayah perairan laut Sukadamai Toboali Kabupaten Bangka Selatan. Foto: istimewa.

Tambang ilegal di wilayah ini bergerak dengan pola yang jelas. Ketika tambang legal milik mitra PT Timah Tbk beroperasi, maka tambang ilegal ikut “menumpang gelombang”. Momentum ini seperti sengaja diciptakan agar operasi ilegal terlihat seperti bagian dari aktivitas resmi.

PT Timah sebenarnya sudah mengantisipasi masalah ini, dengan mengatur jadwal operasional tambang hingga sore hari. Dengan begini, akan terlihat jelas bahwa operasional tambang diluar jam operasional adalah ilegal.

Namun penertiban yang dilakukan PT Timah bersama tim pengamanan terkadang mendapat perlawanan dari pihak penambang ilegal. Terbaru, operator speed terluka akibat serangan penambang ilegal dengan senjata tajam jenis tombak.

Secara kasat mata, tak bisa ditampik negara tampak tak berdaya menghadapi kekuatan tambang ilegal yang semakin menggurita. Siapa yang bermain di balik layar tambang ilegal ini?

Siapa yang menikmati keuntungan besar dari kerusakan lingkungan dan kerugian negara? Pertanyaan itu terus bergema, namun jawabannya masih diselimuti kabut tebal.

Ketika rakyat kebanyakan hidup dalam keterbatasan, kekayaan negara justru digerogoti secara terang-terangan. Di sinilah absurditas itu terjadi—negara yang memiliki semua instrumen kekuasaan seolah-olah tak mampu menegakkan hukum secara tegas.

Untuk memberantas tambang ilegal, tidak cukup hanya mengandalkan satu-dua institusi. Harus ada sinergi nyata dan ketegasan dari Kepolisian, Kejaksaan, TNI, Bea Cukai dan institusi lainnya untuk penegakan hukum.

Penindakan hukum pun harus menyasar bukan hanya pelaku lapangan, tetapi juga aktor intelektual dan pemodal besar yang selama ini bersembunyi di balik jubah kekuasaan dan koneksi.

Langkah ini tentu bukan tanpa tantangan. Budaya pembiaran sudah berlangsung lama dan nyaris mengakar. Namun, bukan berarti mustahil. Ketika negara benar-benar berpihak pada hukum dan keadilan, maka praktik tambang ilegal bisa diberantas sampai ke akarnya.

Salah satu hal yang paling mengkhawatirkan adalah sikap masyarakat yang cenderung permisif terhadap kondisi ini. Tambang ilegal dianggap sebagai bagian dari dinamika lokal yang tak bisa diubah. Mereka sebenarnya tahu ini permainan apa, tapi bilang sudahlah.

Padahal, kerugian lingkungan, sosial, dan ekonomi yang ditimbulkan sangat besar. Negara kehilangan potensi pendapatan miliaran bahkan triliunan rupiah, ekosistem alam rusak, dan konflik horizontal rentan terjadi.

Normalisasi terhadap praktik ilegal ini adalah bentuk keputusasaan kolektif yang berbahaya. Kita tidak boleh terbiasa dengan kejahatan yang luar biasa. Apatisme adalah jalan sunyi menuju kehancuran sistem hukum dan keadilan.

Tambang ilegal di Laut Sukadamai hanyalah satu titik dari potret besar persoalan tambang di Bangka Belitung. Namun, dari titik inilah kita bisa memulai gerakan yang lebih luas untuk menyelamatkan sumber daya alam dan menegakkan kedaulatan negara atas kekayaan bumi pertiwi.

Ketika kue tambang ilegal masih menggoda untuk dinikmati, mungkin selama itu pula bisnis ini akan terus ada. Kecuali kue tambang ilegal ini sudah pahit dan basi, mungkinlah bisa lenyap. Karena memakannya seperti memakan bara api.

Dalam konteks opini ini, Perairan Luat Sukadamai Toboali adalah Negeri Ponton Isap Produksi (PIP) Ilegal Berdaulat?