Jika Inspektorat Bisu, Kita Harus Bersuara, Jangan Banyak Retorika!
Martono: Redaktur Pelaksana Suara Bahana
BAYANGKAN INSPEKTORAT sebagai dokter yang bertugas memeriksa “tubuh” pemerintahan daerah. Setiap tahun, triliunan rupiah dana APBD dialirkan untuk pembangunan jalan, sekolah, atau puskesmas.
Tugas inspektorat adalah memastikan dana itu tidak “dimakan” kanker korupsi. Mereka melakukan audit keuangan seperti tes darah, memeriksa luka kebocoran anggaran, dan meresepkan obat reformasi birokrasi. Tapi bagaimana jika dokter ini diintervensi oleh pasiennya sendiri?

Struktur inspektorat yang berada di bawah kepala daerah ibarat hakim yang digaji oleh terdakwa. Contoh nyata: di sebuah kabupaten di Jawas Island, inspektur menemukan mark-up 30% dalam proyek jalan.
Tapi saat laporan diajukan, bupati memanggilnya dan berkata, “Kamu tahu gajimu dari mana, kan?”. Ini bukan fiksi—ini realita yang terjadi di banyak daerah. Rakyat harus paham: selama inspektorat tak mandiri, pengawasan hanyalah sandiwara.
Setiap kali dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dikorupsi, yang rugi bukan hanya negara. Dana Rp500 juta yang seharusnya untuk perbaikan kelas bisa lenyap, memaksa anak-anak belajar di ruang bocor.
Inspektorat seharusnya menjadi “mata” yang mengawal ini, tetapi di salah satu wilayah di Konoha , ditemukan 50 sekolah fiktif yang dananya menguap ke kantong pejabat. Jika inspektorat diam, siapa yang akan berteriak?
Proyek hantu juga bukan sekadar legenda. Di Negeri Cincau, ada jalan sepanjang 5 km yang tercatat di laporan, tetapi di lapangan hanya ada semak belukar.
Dana Rp10 miliar raib. Inspektorat bisa mendeteksi ini dengan membandingkan laporan tertulis dan bukti fisik. Tapi ketika pejabat terlibat, laporan sering dipalsukan.
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) seperti PDAM atau Perusahaan Daerah Pasar seharusnya mencetak keuntungan untuk kemakmuran rakyat.
Tapi banyak kasus laba BUMD justru masuk ke rekening keluarga bupati. Inspektorat punya kewenangan mengaudit, tetapi laporannya sering “dibungkus” agar tak menyakiti atasan. Jika ini dibiarkan, BUMD akan jadi alat perampokan legal.
Dana desa Rp1-2 miliar per tahun sebenarnya bisa mengubah wajah desa. Tapi dana itu seringkali dipakai untuk membangun balai desa fiktif—padahal yang ada hanya tiang kayu reyot.
Inspektorat wajib memeriksa administrasi seperti laporan pertanggungjawaban (LPJ) dan daftar aset. Tapi ketika kepala desa dan camat bersekongkol, dokumen palsu mudah dibuat.
Asal Bapak Senang (ABS) adalah penyakit kronis birokrasi. Seorang pegawai inspektorat bercerita: “Jika saya berani membongkar korupsi atasan, besok saya bisa dipindahkan ke pulau terpencil.” Ini bukan ancaman kosong. Hampir 60% pegawai inspektorat mengaku takut melapor karena imbalannya adalah pemecatan atau stigmatisasi.
Aplikasi e-audit dan database terbuka bisa jadi senjata ampuh. Di Negeri Batagor, sistem e-budgeting memangkas 40% potensi korupsi karena alur dana bisa dilacak real-time. Inspektorat tidak bisa bekerja sendirian.
Di salah satu daerah, LSM bersama ibu-ibu PKK berhasil mengungkap mark-up harga material bangunan sekolah. Mereka membandingkan harga di pasaran dengan dokumen pengadaan. Hasilnya, Rp200 juta bisa dihemat. Ini bukti bahwa rakyat punya kekuatan untuk ikut mengawasi.
Anak SD di Finlandia diajari bahwa korupsi adalah kejahatan terbesar. Di Indonesia, kita perlu revolusi mental serupa. Inspektorat bisa menggandeng sekolah untuk membuat simulasi pengawasan anggaran kelas.
Misalnya, murid diajak menghitung dana kegiatan sekolah dan membandingkannya dengan realisasi. Pendidikan seperti ini akan menumbuhkan generasi yang tak toleran pada korupsi.
Investigasi media seperti Tempo atau Kompas sering menjadi pemicu KPK bergerak. Misalnya, jurnalis lokal menemukan proyek drainase senilai Rp5 miliar yang hanya berupa parit sedalam 30 cm. Pemberitaan ini memaksa inspektorat bertindak.
Masyarakat harus kritis mengonsumsi media dan menyebarkan informasi valid—setiap klik share bisa jadi tamparan untuk penguasa nakal.
Apa yang Bisa Kita Lakukan? Lima Langkah Praktis untuk Rakyat
1. Cek APBD Daerahmu: Akses situs resmi pemda untuk lihat alokasi dana proyek.
2. Hadiri Musrenbang: Usulkan program prioritas dan awasi realisasinya.
3. Gunakan Hak Bertanya: Minta pertanggungjawaban laporan keuangan desa/kelurahan.
4. Laporkan Kejanggalan: Manfaatkan aplikasi Whistleblower System KPK atau LAPOR!
5. Dukung Calon Pemimpin yang Transparan: Pilih kepala daerah yang berkomitmen membuka data.
Sejarah membuktikan: perubahan besar selalu dimulai dari rakyat. Ketika inspektorat diam soal korupsi dana Covid-19, para pemuda bisa membuat petisi online dan unggah bukti ke media sosial.
Tekanan publik memaksa KPK turun tangan. Ingat: uang yang dikorupsi hari ini adalah jatah sekolah anak kita, obat untuk orang sakit, dan modal usaha UMKM. Diam berarti ikut bersalah.
Korupsi tidak akan mati oleh slogan, tetapi oleh aksi nyata. Inspektorat hanyalah alat—roh pengawasannya ada di tangan kita. Jika kita bersatu, tak ada kekuatan koruptor yang bisa bertahan.
Inspektorat daerah bukan milik pejabat, tetapi milik rakyat. Setiap rupiah yang diselamatkan dari korupsi adalah kemenangan untuk pembangunan desa, pendidikan anak, dan kesejahteraan bersama.
Jangan biarkan segelintir orang merampok masa depan kita. Bangun kesadaran, awasi kekuasaan, dan jadilah garda terdepan perubahan. Karena jika bukan kita, siapa lagi? (***)